Ketika itu ia tengah berdiri sendirian. Sayup angin menerpa kulit wajahnya yang tengah memandang dari ketinggian. Tatapan sepasang matanya jatuh ke bawah, melihat semrawut orang-orang yang tengah sibuk dengan urusan-urusan dunianya. Ia mulai mengalihkan pandangannya. Tatapannya mengarah pada luasnya langit. Terpaan angin malam yang menggelayut dan tingginya tempat berpijak membuat ia begitu ingin kembali ke sebuah tempat yang menyejukkan hati, mengajak selalu merindu, dan bermesraan dengan kalbu. Ketika hanya ditemani oleh angin malam, ia mulai rindu untuk menyelam. Menyelami cinta yang terus diberikan. Menyelami setiap nikmat yang tak terbatas padahal kesalahan terus tercetak.
Teringat sebuah raut wajah yang lusuh dengan sepasang bola mata yang tak lagi jernih memandang. Namun do'anya dapat menembus batas pandangan. Membelah langit dan menggetarkan singgasana Sang Pemilik alam. Setiap teringat rautnya, setiap itu pula teringat noktah-noktah hitam yang pernah menerpa kalbunya. Membuat mengiris jiwa ketika masih hangatnya darah muda.
Dan kini, usia pun sudah hampir mengatakan bahwa diri sudah tak lagi dapat bermain dengan waktu. Ingin dikasihi atau ingin merugi. Itu pilihan. Dan kini, waktunya untuk berperang. untuk sebuah kesempatan. Ia hanya ingin melihat raut wajah itu dapat terhias senyuman. Senyuman ikhlas dan bangga untuk mutiara hatinya. Senyuman yang penuh do'a. Senyuman yang akan selalu ada untuk sang buah permata hingga tutup usia.
Ia ingin menghadiahkan sebuah mahkota yang bersinar. Ia ingin dapat memberikan kepada kedua wajah yang selalu menemani di setiap langkahnya. Yang namanya tak perlu untuk disebutkan. Dan tak akan menagih setiap tetes peluh perjuangan.
Ketika ia merindu. Merindu untuk beradu di waktu yang sendu. Namun, diri harus sabar menanti.
Di kala Ramadhan yang penuh arti ...
17 Ramadhan 1433 H
0 Komentar