"afwan, ukh ..."
"afwan, akh... "
hmm... setiap saya mendengar panggilan 'ukh' maupun 'akh' baik di keseharian, sms, maupun komentar di jejaring sosial benar-benar menggelitik telinga. Yah. Hal ini sama saja dengan mendengar orang-orang menyebut kampus Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dengan sebutan 'stis', bukan 'es-te-i-es'. Bagi sobat RN yang pernah atau tengah menjalani dan mengenal kampus yang berlokasi di Jl. Otista Raya tersebut jelas mengetahui pelafalan yang tepat.
Ya. Pelafalan yang tepat yaitu 'es-te-i-es', bukan 'stis' atau 'setis'. Ingat, ini pelafalan yang tepat. Bukan berarti pelafalan 'stis' atau 'setis' salah tetapi tidak tepat.
Mengapa saya katakan seperti itu?
Begini. jika kita mengacu pada kaidah bahasa indonesia, singkatan STIS merupakan akronim sehingga dapat dibaca menjadi sebuah kata 'stis'. Bukankah sama saja dengan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang dilafalkan sesuai akronimnya yaitu 'stan' ?
Memang benar. Jika kita mengatakan bahwa kata STIS tergolong akronim. Namun, bukankah kita tak bisa mengeneralisasi semua bentuk singkatan yang tergolong akronim dapat dibaca menjadi satu kata? Tentu ada beberapa pertimbangan.
Ya, hal ini sama saja dengan singkatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kita tidak melafalkan dengan 'sma' tetapi kit amenyebut tiap huruf singkatannya yaitu 'es-em-a'. Padahal bukankah ini juga termasuk akronim? Namun, karena mendiknas yang awal mula membentuk singkatan tersebut melafalkan tiap hurufnya, maka masyarakat pun menerima cara pelafalan tersebut bukan dengan cara penyebutan akronim. Begitu juga dengan STIS. Instansi yang membentuk kampus tersebut tidak menyebut singkatan kampusnya dengan pelafalan sesuai akronim. Hal ini terbukti atau sesuai dengan lirik dari mars STIS yang selalu dinyanyikan setiap ada perhelatan atau acara oleh para civitas akademikanya.
Inilah penggalan liriknya :
Ya, hal ini sama saja dengan singkatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kita tidak melafalkan dengan 'sma' tetapi kit amenyebut tiap huruf singkatannya yaitu 'es-em-a'. Padahal bukankah ini juga termasuk akronim? Namun, karena mendiknas yang awal mula membentuk singkatan tersebut melafalkan tiap hurufnya, maka masyarakat pun menerima cara pelafalan tersebut bukan dengan cara penyebutan akronim. Begitu juga dengan STIS. Instansi yang membentuk kampus tersebut tidak menyebut singkatan kampusnya dengan pelafalan sesuai akronim. Hal ini terbukti atau sesuai dengan lirik dari mars STIS yang selalu dinyanyikan setiap ada perhelatan atau acara oleh para civitas akademikanya.
Inilah penggalan liriknya :
STIS (baca: es-te-i-is) menyongsong hari depan...
bukan
STIS (baca: stis) menyongsong hari depan...
Mahasiswa STIS jelas mengetahui pelafalan yang tepat. Oleh karena itu, jika mendengar orang lain menyebut STIS dengan 'stis' terkesan kurang pas di telinga.
Balik ke judul di atas. Sama dengan kata ukh dan akh. Sebenarnya singkatan tersebut berasal dari kata ukhti dan akhi. Dalam bahasa Arab kedua kata tersebut masing-masing memiliki makna saudara perempuanku dan saudara laki-lakiku.
Tulisan dalam bahasa Arabnya sebagai berikut.
أختي terdiri dari huruf alif, kho, tha, dan ya'.
أخي terdiri dari huruf alif, kho, dan ya'.
Sebelum ditambahkan ya' sebagai kata ganti milik untuk saya, kedua kata di atas berasal dari ukhtun (أخت ) artinya seorang saudara perempuan dan akhun (أخ) yang artinya saudara laki-laki.
Nah, sebenarnya jika disingkat akan menjadi ukht dan akh. Namun, artinya yang awalnya adalah menyatakan kepunyaaan yaitu saudara perempuanku dan saudara laki-lakiku akan berubah makna menjadi saudara perempuan dan saudara laki-laki saja.
Banyak dari saudara-saudara seiman yang menyingkat panggilan tersebut sehingga menghasilkan makna yang berbeda. Beberapa alasan yang cukup logis dilontarkan karena dengan panggilan tersebut terkesan praktis dibandingkan jika dilafalkan dengan lengkap. Yah, manusia memang sangat menyukai hal-hal yang bersifat praktis, cepat saji, siap makan, siap beli. Ada juga yang menyatakan bahwa masing-masing dari kita kan sudah mengerti artinya, jadi tak apa jika disingkat. Namun, bukankah lebih baik jika hal ini dilafalkan dengan sebaik-baiknya. Jika nama sobat RN adalah Mawaddatun, relakah sobat RN dipanggil dengan menyingkat nama tersebut menjadi Mawad atau Atun? Padahal jika diucapkan secara lengkap, maka tak akan ada makna dan nilai yang hilang dari nama tersebut.
Memang hal ini terkesan sepele. Namun, hal sepele ini terus-menerus membudaya.
Ini hanya tentang bahasa. Dan opini saya. Namun, alangkah indahnya jika ucapan itu lengkap. Sama seperti ucapan Assalamu'alaikum. Alangkah Indahnya, bukan? dibandingkan kita mendengar ucapan yang disingkat karena terburu pengucapannya sehingga kita menangkapnya menjadi salamekum atau kata yang lainnya.
yaa ukhtii wa yaa akhii ...
-Baiq Rini Adekayanti a.k.a Rishinsa Natsuhi-
1 Komentar
Iya, ukhti rini :)
BalasHapus