Chapter 1 - Kenalin Gue Raka

Kenalin, nama gue Raka, Raka Prayuda Utama. Utama, karena gue satu-satunya anak cowok di keluarga besar gue. Umur gue 23 tahun, fresh graduate, anak milenial, dan jomblo.

Jomblo. Kata yang begitu familiar menempel dijidat gue saat ini. Gue yang baru lulus dari salah satu sekolah kedinasan dan menyandang status pekerjaan sebagai PNS alias Pegawai Negeri Sipil pun gak akan terlepas dari predikat jomblo.

Ketika lo kecil. Kebayang gak sih, cita-cita lo bakal jadi PNS? 100 persen yang jawab iya pasti bohong. Menurut data pemikiran gue (bukan dari Badan Pusat Statistik, ya) saat lo kecil, sebagian besar anak bakal bercita-cita ideal banget. Kalau gak dokter, polisi, tentara, penyanyi, atau profesi keren lainnya, sorry, youtuber belum dikenal pas gue kecil. Tapi seiring lo bertambah usia, lo mulai sadar betapa dunia tak akan seindah cerita drama korea. Cita-cita lo yang ideal itu bakal berubah tiga ratus enam puluh derajat. Jika lo memiliki keluarga dengan penghasilan menengah ke bawah kayak gue, lo bakal ambil jalur aman yang masa depannya terjamin, kalau bisa sampai akhirat pun terjamin, yaitu PNS.

Gak percaya? Lihat saja setiap pembukaan pendaftaran PNS, yang daftar pasti bejibun, berjuta-juta. Ada yang sudah menyiapkan diri dari jaman batu, ada yang cuma mau aji mumpung, coba-coba, kali aja malaikat ikut mendo’akan biar lolos.

Di saat itu, gue yang lulusan sekolah ikatan dinas yang jarang dikenal orang ini, bisa bersyukur karena selesai masa pendidikan, gue langsung diangkat jadi Aparatur Sipil Negara, atau bahasa lamanya PNS.

Bayangan lo, setelah jadi PNS, lo bisa leha-leha di kantor, ketak-ketik di komputer sampai jam kantor selesai terus cabut. Tiap bulan lo bisa lihat gaji lo masuk di rekening dengan cenge-esan sambil nyeruput kopi panas. Plak. Gue mau tanya, itu PNS di sebelah mana? Gue yang aslinya orang dari daerah di ujung timur Indonesia, sekolah di Jakarta, terus dikirim lagi ke negeri antah berantah untuk jadi PNS yang mengabdi kepada negara gak bakal bisa punya hari setenang itu.

12 November, sebulan setelah gue diwisuda, gue dikirim ke pulau Sumbawa. Di mana itu? Mungkin lo lebih kenal dengan Pulau Lombok di NTB. Yak, Pulau Sumbawa tetangganya Pulau Lombok di sebelah timur, masih satu provinsi dengan Lombok. Anggap lo ngerti dan tahulah penjelasan gue.

Singkat cerita gue pun menginjakkan kaki di pulau ini. Eh, tunggu dulu. Gue belum cerita, gue bakal kerja di mana. Yah, gak papa lah. Entar juga lo pada tahu.

Sampai di bandaranya yang cukup mini, gue langsung cabut naik taksi, berbekal anak backpackeran. Secara Gue cowok, beberapa lembar baju aja sudah cukup, yang penting baju dinas dan sepatu gak ketinggalan.

“Bang, eh, Pak, ke kantor BPS Kota Bima, yak.”

“Siap, Pak,” jawab abang supir taksi lugas.

Beuh, dalam hati, ini abang keren juga. Tahu BPS. Sepanjang hidup gue bergaul sama orang di luar kantor, sudah menjadi kebiasaan gue harus menjelaskan: dimana gue kerja, apa yang gue kerjain, bagaimana gue bisa kerja di situ, saking mereka kagak tahu, BPS itu apa. Bahkan sampai mereka gak tahu juga kalau itu kantor isinya PNS, bukan karyawan BUMN.

Tanpa curiga, gue dengan santai masuk ke mobil abang taksi dan duduk di belakang sambil menikmati Kota Teluk, Kota Bima. Sebelum masuk ke pusat kota, sepanjang perjalanan, gue disuguhkan dengan pemandangan apik teluk, air laut, dan perbukitan yang cuamik gersangnya. Yah, Pulau Sumbawa terkenal dengan kegersangannya, apalagi di musim kemarau. Ampun, mataharinya beranak pinak. Puanas pol. Bisa-bisa tambah eksotis kulit gue.

Mobil yang gue tumpangi akhirnya berhenti pas di depan sebuah gedung kantor. Mobil taksi menepi di jalan, belum masuk ke halaman kantor. Tampak dari luar warna gedung bernuansa abu dengan beberapa aksen tembok kaca. Hmm... khas kantor BPS yang selalu mengangkat tema abu-abu. Tapi, plang huruf yang menempel ditembok gedung berkata lain. BePe ... Je eS. What?!! Sudah gue duga. Sungguh ajaib, jika kantor gue bisa terkenal seantero supir taksi di Bima.

“Ini, kantor BPJS, Pak?” kata gue memastikan.

“Iya, Mas-nya turun di Kantor BPJS kan?”

Gubraaak.

“Bukan, Pak. Be Pe Es. Badan Pusat Statistik.”

“Ouh, kantor Statistik, Bilang donk, Mas. Saya kira BPJS. Kantornya seberang kantor Resort Kota itu, kan?”

“Kantor statistik, Pak. Sebentar ... Nah, iya, seberang Resort,” jawab gue, sambil mantengin google map. Gue mustinya dari awal mengecek mbah google. Takut Si abang taksi salah lagi.  

Entah salah singkatan kantor gue yang mirip dengan kantor asuransi kesehatan pemerintah, atau salah gue yang gak langsung bilang statistik. Kata yang identik dengan kantor gue.

Akhirnya, gue gak jadi diturunin di depan kantor BPJS. Si Abang Supir kembali melajukan mobilnya ke kantor yang mustinya dituju.

“Nah, ini kantor statistik, Mas,” kata Si Abang supir taksi.

“Iya, Pak. Ini baru bener,” jawab gue.

Setelah gue kasi ongkos taksi, kemudian, ala-ala sinetron, gue turun dari mobil (tolong, di-shoot dari sepatu gue ke atas, ya), memandang kantor tempat gue bekerja ini dari ujung pondasi, pintu, dinding berlantai dua, sampai bagian atapnya. Haaah... menghela napas, gue ngomong ke diri sendiri.

“Selamat datang, Raka. Selamat datang di dunia kerja.”


Posting Komentar

0 Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...