Mentari pagi baru saja naik dari ufuk timur, aroma embun pun masih terasa.
Setiap pekan, aku, dan beberapa sahabatku selalu berdiskusi membahas berbagai hal. Entah itu mengenai agama, politik, ekonomi, dan sosial. Dari diskusi tersebut kami dapat bertukar pikiran dan informasi sehingga menambah pengetahuan tentang berbagai hal. Diskusi itu adalah salah satu wadah kami untuk mengemangati satu sama lain. Namun, ini sudah pekan kedua, Hanung tidak hadir dalam diskusi kami. Kak Hatta pun menanyakan kabarnya.
''Kemana gerangan Hanung?"
Pandangannya berjalan menatap kami satu per satu berharap ada yang memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Hilman?" Pandangannya mengarah pada hilman yang ketika itu duduk di sebelahku. Hilman adalah sahabat dekat Hanung, setahuku.
"Maaf, Kak. saya sudah menghubunginya kemarin, tetapi tidak ada jawaban" jawab Hilman.
Kemudian Kak Hatta mengarahkan pandangannya ke Firman.
"Firman satu kantor dengan Hanung kan?"
"Iya, Kak. Tapi kami berbeda gedung. Seminggu ini, saya tidak berpapasan dengannya" Jawab Firman.
Kemudian pandangan Kak Hatta tertuju pada saya.
"Bagaimana denganmu, Faris?"
"Oh, sepekan ini saya memang tidak bertemu Hanung, saya juga tidak satu kantor dengannya. Tetapi, saya mendengar kabar dari pelanggan saya yang kebetulan masih tetangga Hanung. Kabarnya, ia pulang kampung karena orang tuanya sakit keras" Jawabku.
"Begitu ya... semoga orang tuanya cepat sembuh. Nanti kalau ada perkembangan tentang Hilman, tolong diberitahukan ya, Faris"
Saya menjawabnya dengan anggukan.
"Baiklah, kali ini kita akan membahas terkait Ekonomi berbasis syari'ah. Ada yang mau membuka pembahasan?"
Tawaran Kak Hatta pun disambut oleh Hanung yang kemudian mulai menjelaskan terkait ekonomi berbasis syariah. Diskusi berjalan selama dua jam, kemudian ditutup dengan kesimpulan dan doa.
Matahari sudah mulai beranjak naik dan menyinari bumi dengan terik. Kami pun pamit pulang.
Ketika berjalan pulang, salah satu sahabatku tersedu.
"Ada apa?" tanyaku.
Ia hanya mengatakan, "Sungguh aku masih jauh dari ukhuwah ini. Aku termasuk orang kesekian yang mengetahui kabar atau kesulitan saudaranya."
Saat itu aku tertegun, bukan karena aku merasa menyinggung perasaannya
karena lebih dahulu tahu. Tetapi, karena betapa ia begitu memerhatikan
saudaranya. Seakan kabar baik dan kabar buruk yang menimpa saudaranya adalah
suatu kabar yang juga menimpa dirinya.
Dan sebenarnya pernyataannya itu membuat aku pun masih belum apa-apa
dengannya.
Astagfirullah, aku terlalu sombong hingga berpikir bahwa aku begitu
mengenal luar dalam sahabatku.
Padahal sebenarnya aku sendiri hanya sedikit tahu tentangnya.
Bahwa sebenarnya ta'aruf (berkenalan) itu bukan hanya satu atau dua tahun
bukan pula 10 atau dua puluh tahun, Tetapi sampai selamanya. Karena ciptaan
Allah ini, yaitu manusia, memiliki berbagai potensi yang selalu dapat digali,
memiliki potensi pula untuk berkembang dan
mengalami perubahan.
Aku masih belum apa-apa. Sampai sejauh ini pun aku masih belum mengenal
sahabat-sahabatku.
0 Komentar