Seperti biasa. Tepat pukul setengah enam, ia telah siap keluar rumah, mengunci pintu depan dengan rapat, dan menarik tali sepatunya dengan erat. Sepatu ket putih pun telah siap membungkus kaki. Saatnya menembus udara pagi.
Cahaya bulan masih mendominasi pagi itu. Namun, perlahan tapi pasti, ia mulai meredup dan menenggelamkan diri. Suara bisikan jangkrik masih terdengar di telinga. Namun, hal itu tidak membuat seorang pria seperempat abad ini tergoda untuk kembali menarik selimut hangatnya.
Ia kini tengah berlari di jalan beraspal di depan rumahnya. Kulit luarnya dapat mencicipi aroma embun pagi yang mulai menampakkan diri.
Jalanan masih terlihat sepi. Hanya terdengar suara tapak sepatunya yang tegas. Tubuhnya yang menebas angin dan hembusan nafasnya yang teratur perlahan meninggalkan jejak. Bukan hanya tubuhnya, pikirannya juga ikut berlari. Menerawang ke depan. Berpikir tentang berbagai hal yang harus ia selesaikan dan hadapi esoknya.
Tugas kantor yang belum selesai, cicilan rumah yang masih jauh dari lunas, biaya melanjutkan pendidikan, ibadah haji yang masih jauh dari antrian, biaya pulang kampung sekeluarga, dan berbagai hal lainnya menumpuk menjadi satu di kepalanya. Setiap keping pikiran seakan terlepas dari kepalanya dan berhamburan di setiap jalan yang ia lewati. Sampai akhirnya, sebuah suara kecil terdengat seakan membelah seluruh keping-keping pikirannya itu.
Ia pun membalikkan badannya yang telah dibanjiri oleh keringat. kembali mengatur nafasnya dan berusaha menatap jelas ke depan. Sepasang kaki mungil menghampirinya. Semburat cahaya mentari perlahan menyinari wajahnya yang kecil. Pelan tapi pasti, sehingga terlihat dengan jelas senyuman manisnya.
"Ayah" sapa si pemilik tubuh mungil itu.
Suara mungilnya memecah lamunan pria itu.
"Ah, benar. Bisa-bisanya aku yakin dapat menemui hari esok. Sementara aku sama sekali tidak mengetahui sampai sejauh mana batas nafasku, bersyukur atas hari ini dan melewati hari ini bersama orang-orang yang penting dalam hidup, memberikan mereka senyuman terbaik dan bekal terbaik untuk menghadai hari esok, adalah hal yang harus dilakukan sekarang". batinnya.
Ia membalas senyum anak itu, meraih dan menggengam tangannya. Keduanya berjalan pulang.
Ya, kita selalu mengatakan. Besok saja. Nanti saja. Sebentar. Tanpa kita menyadari apakah ada jaminan bahwa raga ini dapat bertemu dengan esok, nanti, dan sebentar.Manfaatkan waktu yang ada untuk mengerjakan apa yang bisa dikerjakan sekarang dan bersama orang-orang yang mungkin saja kita tak memiliki kesempatan lain waktu untuk bersama dengan mereka.
"Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian. Melainkan, yang beriman dan beramal soleh"
Mari manfaatkan setia detik yang kita miliki dengan selalu memberi dan membuat kenangan yang indah dengan orang-orang yang kita
0 Komentar