Hati-hati dengan Sopir Taksi Tembak!

Jakarta oh Jakarta...
Sungguh berbagai hal dapat diperoleh di kota megapolitan ini. Jika Sobat ingin menjadi orang 'bener', bisa. Jadi orang 'gag bener' juga bisa, tergantung niat kita. Apakah merantau ke ibukota negara ini untuk tujuan mulia (menuntut ilmu alias kuliah, sekolah, kursus, pelatihan, bekerja, dsb) atau hanya ingin mencari kesenangan dunia yang melalaikan (astagfirullah .. semoga kita dijauhkan dari niat yang satu ini). Bicara tentang Jakarta, akhir-akhir ini banyak sekali berita yang cukup menyita perhatian masyarakat. Selain berita sehari-hari seperti kemacetan, beberapa berita cukup menjadi sorotan baik itu berita kriminal, prestasi dan kejadian. Dari sisi kriminal kita sebut saja: tindak pidana baik di angkot atau mikrolet dan taksi. Dari sisi kejadian, kita sebut saja: banjir yang belum teratasi di beberapa titik di ibukota, seperti daerah Pluit, Kampung Melayu, dan Bidara Cina. Sementara itu, dari sisi prestasi sepertinya tidak cukup tersoroti dikarenakan tertutupi oleh berita-berita menghebohkan di atas. 

Namun, RN tidak akan mengupas hal tersebut secara merinci, hanya akan  mengambil satu dari seribu kerumitan kasus di Jakarta. Ya, sesuai dengan judul postingan ini: Sopir Tembak. 
Sopir tembak bukan berarti sopir tersebut jago menembak atau merupakan seorang sniper handal, lho? Tapi, yang dimaksud sopir tembak di sini  adalah seseorang yang menjadi sopir namun tidak memiliki izin yang legal atas profesi tersebut. Sopir tembak biasa ditemukan di kendaraan umum.
Karena ketidaklegalan tersebut, biasanya sopir tembak ada yang tidak memiliki STNK bahkan ada yang tidak memiliki SIM. Dan yang membuat penumpang sering was-was adalah seringkali sopir tembak mengemudikan kendaraan umum secara ugal-ugalan. Mereka memiliki akses kendaraan umum, entah itu angkot, mikrolet, kopaja, atau taksi tak lepas dari kontribusi teman-teman atau kerabat mereka yang notabene adalah sopir legal moda transportasi tersebut.


Sedikit  share pengalaman RN, Ketika RN menuju ke Bandara Soekarno-Hatta untuk menjemput kerabat, RN menunggu taksi yang melintas di Jalan Otista Raya. Namun taksi kosong yang diharapkan tak kunjung datang. Sebenarnya, taksi dengan brand yang lain dan kosong atau tidak berpenumpang cukup banyak yang melintas. Namun, RN tetap kekeh hanya ingin naik taksi dengan brand tertentu saja karena taksi tersebut cukup terpercaya di mata konsumen.
Seiring berjalannya waktu, dengan berbagai pertimbangan terutama karena khawatir kerabat akan menunggu lama datangnya 'si penjemput' ini, maka prinsip untuk menaiki taksi tertentu itu pun dikesampingkan. 
Sekali ini saja tidak apa-apa, pikir RN.
Langsung saja RN melambaikan tangan kepada taksi biru pekat yang melintas dihadapannya. Taksi itu merapat ke pinggir jalan tanda menerima penumpang. Kemudian, RN membuka pintu belakang, duduk dengan tenang dan langsung menyebutkan arah tujuan.
"Bandara Soe-ta ya, Pak."
Taksi pun melaju kencang, meninggalkan Jalan Otista dan berbelok ke arah tol cawang. Setelah berada di dalam mobil (taksi, red). RN pun menerawang, melihat keadaan mobil yang cukup tua. Pandnagan RN terhenti ke arah depan dan mulai tersadar akan sesuatu yang seharusnya ada namun tak ada. Ou, Ou, Identitas Sopir yang seharusnya terpampang menghadap kursi penumpang ternyata tidak ada, hanya terlihat bingkainya saja yang kosong. Kecurigaan mulai mencuat.
Dan kecurigaan semakin bertambah ketika kejadian di Pintu Tol Cawang pun terjadi. Setelah sopir tersebut menerima karcis tol, ia mulai memasukkan porsneling, namun ternyata gagal. Mobil tersebut akhirnya tak kunjung bergerak. Bahkan bukannya bergerak maju, tetapi malah mundur  dan hampir menabrak mobil lain yang tengah mengantri di belakang.
Sopir tersebut terus saja mencoba memasukkan porsneling, tetapi masih gagal juga. #saat itu RN belum bisa mengendarai mobil, makanya hanya duduk terdiam sambil bertanya 'ada  apa pak?', coba kalau sekarang, mungkin RN suruh si bapak sopir turun, duduk di kursi penumpang dan RN sendiri yang mengendarai di depan# :D


Sampai akhirnya, petugas tol pun bergerak untuk menolong. RN pun mulai memantapkan hati untuk turun ingin mengganti moda transportasi lain saja. Namun, si sopir tadi malah menyuruh RN tenang dan duduk manis di belakang. No, No, No, RN turun saja, pikir RN. Ketika RN mulai membuka pintu mobil, si sopir ternyata berhasil memasukkan porsneling. Akhirnya, mobil tersebut berjalan maju meninggalkan pinto tol yang di penuhi antrian akibat kejadian yang tadi ia ciptakan sendiri. RN pun mengurungkan niat untuk turun.

Di perjalanan, RN just stays cool sembari mulai mengorek tentang kondisi mobil yang sempat 'ngambek' di pintu tol tadi. Si Sopir pun mengaku bahwa ia baru saja belajar mengemudi. WHAT? 

LALU, INI SEBENARNYA TAKSINYA SIAPA? MANA SOPIR ASLINYA?
Dengan polos, ia mengatakan mobil taksi ini adalah milik keponakannya.

"Keponakan saya itu ya, Mbak. Padahal saya baru belajar tapi dikasi aja bawa taksinya, hehehe.. " Aku Si bapak sopir tak berdosa.
Pak sopir kembali menambahkan "Tapi tenang mbak, saya biasanya narik bajaj, dan ini baru pertama kali bawa taksi." APAAA? BAJAJ AMA TAKSI KAN JAUH BANGET? ITU KAYAK MOTOR AMA MOBIL, BAPAAAK??? LANGIT AMA BUMIIII.....

#ehm, maaf, huruf kapital berarti jeritan hati RN yang tertutupi oleh wajah yang tenang#

Hhh.. RN tidak habis pikir. Jika RN turun di jalan ini sekarang, maka belum tentu mendapatkan tumpangan karena masih di jalan tol. Jika RN tetap di dalam taksi ini pun, belum tentu bisa sampai di bandara dengan selamat. Ingin memarahi Si sopir, tetapi RN khawatir juga jika Si Bapak Sopir dimarahi tentu akan menggangu konsentrasinya dalam mengemudi. Akhirnya, RN putuskan untuk tetap diam dan duduk manis di belakang, berusaha percaya pada si sopir tembak yang tengah mengemudi di depan, serta percaya dan berharap pada satu-satunya Pelindung dan Pemberi keselamatan, Allah SWT.

Untuk menenangkan pikiran, RN mulai mengganti siaran radio yang sedari tadi didengar melalui headshet yang menempel dikuping. Ya, siaran radio yang mengabarkan tentang berita-berita teraktual tajam dan terpercaya itu pun RN ganti dengan murrotal. RN merogoh tas dan kemudian mengambil mushaf Al Qur'an, kemudian mencoba me-murojaah beberapa hafalan.

Belum genap setengah jam lantunan ayat suci Al Qur;an memberikan ketenangan, Si sopir malah menciptakan kekhawatiran kembali. Dengan santai, ia membalas sms dan menerima telepon sambil mengemudikan taksi. BAPAAK... ! BAHKAN SEORANG SOPIR MAHIR PUN TETAP TIDAK BOLEH MENERIMA TELPON SAMBIL MENGEMUDI.

RN spontan menutup mushaf dan mulai menegurnya. Namun, ucapan RN terhenti ketika mendengar pembicaraan berbahasa Jawa Si Bapak Sopir dengan temannya yang dapat RN mengerti dengan jelas.
Jika diterjemahkan berarti: ''lagi di jalan ke bandara nganter penumpang, ini kira-kira bensinnya cukup, gag ya?" APAAA...? DISAAT BEGINI, BENSIN MOBIL AJA GAG DICEK??

Belum selesai RN terkejut, Pintu Tol Cengkareng semakin jelas terlihat di depan mata tanda sebentar lagi diri akan tiba di bandara. Pak Sopir mulai menyimpan ponselnya, merogoh sakunya dan membayar biaya tol. Sementara RN masih sibuk mencari uang untuk biaya tol di dompet yang baru saja diambil dari dalam tas.

Lho? dibayarin? Batin RN.

Setahu RN, taksi yang memiliki promo bebas biaya tol ke bandara hanya taksi favorit RN (taksiku, red). Ya, sudahlah, paling nanti ditotal dengan biaya taksi, pikir RN.

Taksi yang RN tumpangi mulai melintas di jalan menuju terminal bandara. RN mulai cukup tenang, setidaknya sudah dekat dengan lokasi tujuan. Si Sopir mulai kebingungan, kemana arah tepatnya lokasi tujuan si penumpang. Si sopir melihat taksi di depannya dan mulai mengikuti taksi itu. Sepertinya Si Bapak Sopir berharap taksi di depan memiliki tujuan yang sama dengan RN. Sayangnya, tujuan kami berbeda. Ketika di persimpangan jalan menuju terminal 1 dan 2, taksi di depan kami melaju ke arah terminal 2. Sementara Si bapak sopir malah sudah terlanjur membelokkan taksi ke kiri menuju terminal 1.
Si Bapak Sopir kemudian berkata sekan tahu jalan, "seharusnya tadi kita lurus, ya, mbak."
"Hah? sudah benar, kok. Belok." Jawab RN dingin.
 Si Bapak membalas dengan hanya mengangguk.

Papan terminal 1A mulai terlihat pandangan. Dan RN pun mulai mengintruksikan: "tolong berhenti di di situ, Pak!"
"iya, mbak" Jawab si Bapak sopir.

Akhirnya, taksi yang RN tumpangi ini mulai merapat ke pinggir tepat di terminal 1A. Huufff.. Alhamdulillah ... RN segera turun, membayar taksi, mengucap terima kasih dan langusng ngacir. Namun, setelah beberapa langkah,  RN berbalik, melihat si bapak sopir yang sudah berada di kursi pengemudi dan mengemudikan taksi keponakannya itu meninggalkan terminal bandara.
Dalam hati, RN kasihan juga dengan si bapak, dan hanya dapat mendo'akan semoga bapak selamat sampai tujuan.

OK, cukup ini dijadikan pelajaran. Ambil hikmahnya saja. Memang ini bukan sepenuhnya kesalahan Si Bapak Sopir tadi yang beraninya mengemudikan taksi padahal masih belajar, belum memiliki SIM, dan belum menguasai porsneling dengan benar. Ia tidak akan menjadi sopir tembak selama keponakannya itu tidak memberinya izin untuk mengemudikan atau malah membawa penumpang dengan taksi tersebut. Dan kecerobohan RN juga, sembarangan naik taksi. Seharusnya RN tetap pada prinsip: naik taksi yang terpercaya saja, yang sudah jelas brand dan memegang kepercayaan konsumen. Setelah naik pun, cek identitas sopir, ada atau tidak? Jika sudah terpasang pun, perhatikan nama dan fotonya, apakah sudah sesuai dengan wajah sopir yang mengemudi? Jika tidak, sebaiknya RN sarankan turun saja dan naik bus transjakarta jika memungkinkan. Ya, bus TJ yang setidaknya sudah jelas kondektur dan sopirnya bukan 'tembakan'.
Semenjak saat itu, RN hanya naik taksi yang sudah RN percayai saja.

Muhasabah RN pun mulai terpecah dikarenakan lambaian dan senyuman wajah-wajah yang hangat itu mulai terlihat. Itu mereka,  batin RN. RN pun segera mendekat ke wajah-wajah penuh kehangatan yang sedari tadi telah menunggu kedatangan. 

-RN-

Posting Komentar

0 Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...