Episode 1 - Perkenalan Awal


Seperti biasa, aku bertemu dengannya di persimpangan jalan setapak itu. Pada hari yang sama, jam dan menit yang sama. Setiap pekan selalu berulang. Aku yang cuek tanpa make up hanya berbekal lipbalm, sneakers, baju kaos panjang, rok tipe A, dan tas ransel yang selalu setia menemani. Tak tahu bagaimana cara melukis alis, memasang maskara, dan memoles berbagai tipe lapisan di wajah. Berbeda dengannya, yang selalu tampak rapi dan klinis. Pagi itu, kami pun berpapasan.
Aku yang setiap pagi harus membuka bookstore kecil-kecilan yang kubangun dari hasil menabung sejak kecil, dapat menyewa 64 meter per segi ruangan yang ku sulap menjadi toko buku. Tak perlu banyak pekerja. Cukup satu orang anak lulusan SMK yang kupekerjaan paruh waktu sebagai tambahan biaya hidupnya untuk melanjutkan kuliah.

Siapa yang akan menyangka aku menjadi pengelolanya. Jika tampilanku seperti nerd mahasiswa. Padahal umur tak lagi pantas disebut mahasiswa bahkan fresh graduate.
Temanku yang seorang dosen datang setiap sore itu, menyapaku. sambil memilih buku yang ingin ia baca.

"Ada cafe yang akan dibangun di sebelah" sapanya sambil menghampiriku.
"Oh, ya?" Jawabku singkat tak tertarik.
"Kau tahu pemiliknya?"
"Tidak."
"Pemiliknya salah seorang dosen satu universitas denganku."
"Lalu?"
"Aku ingin mendekatinya. Bisakah aku magang di Bookstore-mu?"
"Tidak."
"Rena... please.."
"Tidak. Aku tidak ingin menurunkan image tokoku."
"Heh... Aku akan membuat tokomu menjadi semakin laris."
"Gag.. Aku gag butuh." Jawabku ketus.
"Ayolah...Aaa kau ingin aku diejek terus oleh mahasiswaku karena terus menjadi dosen jomlo abadi."
"Bukan masalahku."
"Ayolah, Na... Ia akan menyebar brosur ke sekitar sebagai ajang promosi. Jadi, pastinya ia akan datang ke tokomu. Ayolah..."
"Hhhhh......... Hari jumat, gantikan aku hari jumat. Selain hari itu, aku tidak mau."
"Baiklah... Siap, bos.. Terima kasih.."

Kenapa harus hari jumat? karena setiap hari jumat, aku mengisi di panti asuhan sebelas. sebagai relawan. 

6 bulan kemudian, aku mendengar kabar, mereka akan menikah. Sebuah undangan bertengger manis di mejaku. Ada rasa malas untuk pergi, tetapi wajib untuk didatangi.
Akhirnya resepsi hari sabtu itu pun ku datangi. Berbekal polesan bedak dan liptin agar wajah tak terlihat kusam. Ku istirahatkan tas ranselku, dan mengambil sling bag yang entah kapan terakhir kali kupakai.

Aku akhirnya pergi ke sana. Sebuah resepsi yang bernuansa melayu. Mataku hanya mengembara di tengah hiruk pikuk para tamu yang tak ada ku kenal, selain mempelai perempuannya. Dan melihat orang itu lagi. Ia datang ke pesta ini juga. Ah, mungkin dari pihak pengantin pria. pikirku singkat. Selesai menyantap makanan dan menikmati kesan meriahnya resepsi, akhirnya aku beranjak pamit dengan tanpa melupakan untuk memberi selamat kepada kedua mempelai. Tak ku sangka ia ada di depanku bersama dengan teman-temanya. bersalaman dan hendak berfoto bersama. Ayu, temanku. menarik lenganku dan aku pun menyelinap diantara foto mereka. Setelah itu, aku pun ingin segera pergi dari sini.

"Hans, masih ingat Rena? Pemilik bookstore di sebelah cafe-mu."
"Oiya? kita bertetanggaan."
"Kita sering berpapasan, bukan?' Sapa orang yang di sebelah mempelai pria.
"Ah, Iya." Jawabku singkat.

Perkenalan yang tak pernah kubayangkan akan menjadi awal dari perjalanan panjang diriku. Hidupku sejak awal selau flat. Tapi, aku tak pernah komplain atas ke-flat-an. Aku hanya sudah biasa menjalaninya, tanpa ingin melihat kiri-kananku menggunakan ponsel apa, make up apa, brand apa, atau aktivitas trending apa. Aku hanya ingin menikmati hidupku dengan tenang tanpa harus pusing dengan cibiran orang yang bahagia mengisi hidupnya dengan mencibir kehidupan orang lain. Tetapi, perkenalan singkat itu, tak kusangka akan membuka gerbang lain dalam hidupku. Jangan berpikir tentang percintaan, karena ini bukan tentang percintaan.

-Bersambung -

Posting Komentar

0 Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...